Hatta mulai
menetap di Belanda semenjak September 1921. Ia segera
bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah
tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische
Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal
tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak
tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan
Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik
mereka lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena
Suwardi Suryaningrat ( Ki
Hadjar Dewantara )
menginisiasi penerbitan Majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai
1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah
Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal
kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip kritik terhadap sikap
kolonial Belanda.
Pergerakan Hatta dalam Indische
Vereeniging tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan, sebab Indische
Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang daerah. Lagipula, nama
Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah, yakni
gugusan Kepulauan Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem kolonialisme
Hindia-Belanda.
Hatta mengawali karier pergerakannya
di Indische Vereeniging sebagai bendahara pada 19 Februari 1922, ketika terjadi
pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh
Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka
di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama
Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya
mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa
yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota
Indonesische Vereeniging menyatakan bahwa dari sekarang kita mulai membangun
Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie.
F.Hatta
Bergabung Dengan Imperialisme Dan Kolonialisme.
Pada tahun 1927, Hatta bergabung
dengan Liga Menentang Imperialisme dan Kolonialisme di Belanda. Dan dari
sinilah ia bersahabat dengan nasionalis India, Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya
dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap pemerintah Belanda. Hatta
akhirnya dibebaskan, setelah melakukan pidato pembelaannya yang terkenal:
Indonesia Free.
G.Hatta
Kembali Ke Indonesia.
Pada tahun 1932, Hatta kembali ke
Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club Pendidikan Nasional Indonesia
yang bertujuan meningkatkan kesadaran politik rakyat Indonesia melalui proses
pelatihan-pelatihan. Belanda kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir,
ketua Club Pendidikan Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta
diasingkan ke Digul dan kemudian ke Bandaneira selama 6 tahun.
Pada tanggal 9 Maret 1943 setelah
datangnya militer Jepang ke Indonesia, Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat
(Putera) dimana Hatta dan Soekarno ditunjuk sebagai ketuanya. Soekarno berpikir
bahwa ini akan menjadi cara agar mereka bisa mendapatkan dukungan bagi
kemerdekaan Indonesia. Pada bulan November 1943, usaha Hatta dan Soekarno untuk
bekerja sama dengan pemerintah Jepang diakui oleh Kaisar Hirohito yang dihiasi
dengan penghargaan di Tokyo.
Setelah gelombang Perang Pasifik
mulai berbalik dengan kekalahan yang dialami oleh tentara Jepang, pemerintah
Jepang membubarkan Putera dan diganti dengan Djawa Hokokai pada Maret 1944.
Ketika kekalahan mulai membayang di pihak Jepang, Perdana Menteri Koiso Kuniaki
mengumumkan pada bulan September 1944 bahwa Jepang akan memberikan kemerdekaan
Indonesia dalam waktu dekat.
Sejak saat itu momentum mulai
berkumpul untuk kemerdekaan Indonesia. Didorong oleh sentimen nasionalis
Indonesia dan didukung oleh simpatisan dari Jepang seperti Laksamana Maeda.
Dalam hal Maeda, ia bahkan mendirikan sebuah forum diskusi yang disebut
"Kemerdekaan Indonesia Centre" dan mengundang Hatta serta Soekarno
untuk memberikan kuliah tentang nasionalisme. Hal ini diikuti pada bulan April
1945, dengan pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). BPUPKI akan bertemu selama tiga bulan ke depan dan akan memutuskan
hal-hal seperti konstitusi dan wilayah yang akan menjadi bagian dari
Indonesia.
H.Jepang Menyetujui Kemerdekaan Indonesia.
Pada bulan Agustus 1945, Jepang
akhirnya menyetujui kemerdekaan Indonesia dan membentuk Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tanggal 8 Agustus 1945, Hatta dan Sukarno
dipanggil ke Saigon, untuk bertemu dengan Marsekal Terauchi, panglima pasukan
Jepang di Asia Tenggara. Terauchi mengatakan kepada Hatta dan Soekarno bahwa
PPKI akan terbentuk pada 18 Agustus dan bahwa Indonesia akan merdeka dengan
pengawasan Jepang.
I.Jelang Kemerdekaan.
Hatta dan Soekarno kembali ke
Indonesia pada 14 Agustus. Dalam hal Hatta, Sutan Sjahrir sudah menunggunya
dengan berita tentang bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Sjahrir mengatakan
kepada Hatta bahwa mereka harus mendorong Soekarno memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia segera, karena dalam beberapa hari orang Jepang mungkin tidak ada
untuk memberikan pengawasan. Sjahrir mengatakan Hatta tidak perlu khawatir
tentang pemerintah Jepang karena rakyat akan berada di pihak mereka.
Sjahrir dan Hatta kemudian pergi
menemui Soekarno, dimana Syahrir mengulangi argumennya di depan Soekarno. Hatta
kemudian berbicara, mengatakan bahwa dia khawatir Sekutu akan melihat mereka
sebagai kolaborator Jepang. Soekarno juga punya perasaan ini dan Syahrir
meninggalkan rapat karena frustrasi.
Hari berikutnya pada tanggal 15
Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu. Di Indonesia, berita itu hanya
rumor dan belum dikonfirmasi. Hatta dan Soekarno pergi ke kantor pemerintah
Jepang di Jakarta, dan menemukan kantor itu telah kosong. Hatta dan Soekarno
kemudian pergi ke Maeda yang menegaskan bahwa Jepang telah menyerah kepada
Sekutu. Hatta dan Soekarno tampak terkejut bahwa Jepang telah menyerah. Selama
siang hari, Hatta dan Soekarno berhadapan dengan pemuda Indonesia yang
menginginkan kemerdekaan untuk diikrarkan sesegera mungkin. Sebuah perdebatan
panas terjadi, dan Soekarno meminta para pemuda untuk lebih sabar.
Pada pagi hari tanggal 16 Agustus
1945, para pemuda Indonesia menculik Hatta dan Soekarno, dan membawa mereka ke
Rengasdengklok. Disini para pemuda terus berusaha untuk memaksa Hatta dan
Soekarno menyatakan kemerdekaan, tetapi tidak berhasil. Di Jakarta terjadi
kepanikan, dimana PPKI telah memulai pertemuan hari itu dan merencanakan untuk
memilih Soekarno sebagai ketua dan Hatta sebagai wakil ketua. Ketika informasi
tentang keberadaan Hatta dan Soekarno diketahui dan penyerahan Jepang telah
dikonfirmasi, Achmad Subardjo, seorang anggota PPKI pergi ke Rengasdengklok
untuk menjemput Hatta dan Soekarno. Malam itu, Hatta dan Sukarno kembali ke
Jakarta menuju rumah Maeda. Di rumah ini mereka menyusun teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 10
waktu Jawa, Hatta bersama Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Sehari kemudian, secara aklamasi ia diangkat sebagai wakil presiden pertama RI,
mendampingi Soekarno yang menjadi presiden RI. Oleh karena peran tersebut maka
keduanya disebut dwitunggal, Bapak Proklamator Indonesia.
Setelah ditunjuk sebagai wakil
presiden RI dalam sidang PPKI, Hatta membuat tiga keputusan penting pada masa
awal kelahiran republik. Pada bulan Oktober, Hatta membentuk Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) yang berperan sebagai lembaga legislatif, selain sebagai
penasehat presiden. Pada bulan yang sama, Hatta juga mengeluarkan maklumat
pembentukan partai politik di Indonesia. Bulan berikutnya, Hatta juga membuat
keputusan yang mengambil peran presiden sebagai kepala pemerintahan kepada
seorang perdana menteri.
Ketika Belanda mulai mengirimkan
pasukan mereka kembali ke Indonesia, Hatta bersama dengan Sjahrir dan Soekarno
sepakat untuk melakukan perundingan dengan pihak Belanda. Hal ini menyebabkan
ketegangan dengan unsur-unsur radikal dalam pemerintahan, seperti pemimpin para
pemuda : Chaerul Saleh dan Adam Malik. Pada bulan Januari 1946, Hatta dan
Soekarno pindah ke Yogyakarta, meninggalkan Sjahrir (yang saat itu menjabat
sebagai perdana menteri) untuk memimpin perundingan di Jakarta.
Pada November 1946 ditandatangani
Perjanjian Linggarjati, yang berisi pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
Namun pengakuan Belanda hanya untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan Madura. Selain
wilayah itu, republik ini akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat
dengan Ratu Belanda selaku kepala negara. Namun sebelum kesepakatan itu
akhirnya diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Belanda, beberapa kompromi dibuat
tanpa persetujuan pihak republik. Akhirnya Indonesia menolak untuk melaksanakan
bagian dalam kesepakatan itu, sehingga terjadi Agresi Militer Belanda I pada
bulan Juli 1947.
Pada masa ini Hatta dikirim ke luar
negeri untuk mencari dukungan bagi Indonesia. Menyamar sebagai ko-pilot
pesawat, Hatta menyelinap ke India untuk meminta bantuan. Disana ia meminta
dukungan Nehru dan Mahatma Gandhi. Nehru meyakinkannya bahwa India akan
mendukung Indonesia di forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
Pada bulan Desember 1947, diadakan
perundingan di atas kapal USS Renville, dan perjanjian ditandatangani pada
Januari 1948. Perjanjian ini lebih menguntungkan pihak Belanda, dimana Belanda
menyerukan kepada pihak republik untuk mengakui wilayah-wilayah yang telah
diambil Belanda selama Agresi Militer I. Perjanjian ini
menyebabkan kemarahan banyak pihak dan memaksa Amir Syarifuddin untuk
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai perdana menteri.
Untuk menggantikan Syarifuddin,
Soekarno menunjuk Bung
Hatta sebagai
Perdana Menteri dan menyatakan bahwa kabinet akan bertanggung jawab kepada
Presiden, bukan KNIP. Pada saat yang sama Bung
Hatta juga
mengemban posisi sebagai Menteri Pertahanan. Sebagai Perdana Menteri, Bung Hatta harus membuat keputusan tidak populer.
Pada bulan Agustus 1948, Bung
Hatta terpaksa
melakukan demobilisasi beberapa prajurit.
Pada bulan Desember 1948, Belanda
melancarkan Agresi Militer II dan fokus serangan mereka adalah Yogyakarta. Bung Hatta dan Soekarno,
bukannya melarikan diri untuk melakukan perang gerilya, namun memilih untuk
tetap tinggal hingga akhirnya mereka ditangkap. Soekarno memberikan wewenang
kepada Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), sebelum pergi ke
pengasingan di Pulau Bangka dengan semua pemimpin republik lainnya, termasuk Bung Hatta.
Perlawanan di bawah Jenderal Sudirman
dan pasukan TNI, menyebabkan Belanda mendapatkan tekanan internasional. Pada
bulan Mei 1949, Perjanjian Roem-Roijen ditandatangani dan Belanda berjanji
untuk mengembalikan para pemimpin yang mereka tangkap. Pada bulan Juli 1949, Bung Hatta dan Soekarno kembali ke Yogyakarta.
Pada bulan Agustus 1949, Bung Hatta memimpin delegasi ke Den Haag untuk
Konferensi Meja Bundar (KMB). Pada bulan November 1949, pembentukan Republik
Indonesia Serikat akhirnya disetujui. Ratu Belanda akan terus menjadi kepala
negara simbolis, sementara Bung
Karno dan Bung Hatta tetap
sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pada tanggal 27 Desember 1949, pemerintah
Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Wakil Presiden Bung Hatta dan Ratu Juliana menandatangani
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia.
Setelah KMB, Bung Hatta melanjutkan jabatannya sebagai Perdana
Menteri Republik Indonesia Serikat dan memimpin transisi dari negara federal
kepada negara kesatuan, yang akhirnya resmi terbentuk pada tanggal 17 Agustus
1950.