Twitter

About Me

Archive for September 2012

Bung Hatta : Iwan Fals

Tuhan terlalu cepat semua
Kau panggil satu-satunya yang tersisa
Proklamator tercinta…
Jujur lugu dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Rakyat Indonesia…
Hujan air mata dari pelosok negeri
Saat melepas engkau pergi…
Berjuta kepala tertunduk haru
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu…
Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas… jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkapal doa
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu…
JIKA masih hidup, dan diminta melukiskan situasi sekarang, Mohammad Hatta hanya akan perlu mencetak ulang tulisannya 48 tahun lalu: “Di mana-mana orang merasa tidak puas. Pembangunan tak berjalan sebagaimana semestinya. Kemakmuran rakyat masih jauh dari cita-cita, sedangkan nilai uang makin merosot. “Perkembangan demokrasi pun telantar karena percekcokan politik senantiasa. Pelaksanaan otonomi daerah terlalu lamban sehingga memicu pergolakan daerah. Tentara merasa tak puas dengan jalannya pemerintahan di tangan partai-partai.” Hampir tidak ada yang perlu diubah-kalimat demi kalimat, kata demi kata.

Krisis politik, ekonomi, dan konstitusi. Krisis serupa yang ditulis Hatta itu kini menghantui Indonesia lagi, setengah abad setelah Megawati Sukarnoputri menyimpan boneka mainannya, Amien Rais tak lagi bermain gundu, dan Jenderal Endriartono Sutarto menukar ketapel karetnya dengan senapan M-16. Tidak ada yang baru di kolong langit, kata orang. Sejarah adalah repetisi pengalaman-pengalaman. Tapi, jika Indonesia terperosok ke lubang hitam yang sama secara telak, mungkin karena bangsa ini tidak benar-benar belajar dari sejarah yang benar. “Belajarlah dari sejarah”. Sukarno mengatakan hal itu. Soeharto bicara yang sama.
Masalahnya adalah sejarah yang mana. Sejarah, apa boleh buat, telah lama menjadi ladang perebutan ideologi dan kepentingan. Dan Hatta adalah seorang pecundang, yang kalah, dalam perebutan itu. Pada 1960-an, tulisan Hatta berjudul Demokrasi Kita itu dinyatakan sebagai bacaan terlarang. Buya Hamka, pemimpin majalah Pandji Masjarakat yang memuat tulisannya, dipenjarakan. Sementara itu, pemerintah Orde Baru menyusutkan citranya sekadar sebagai “Bapak Koperasi”-citra sempit yang mengerdilkan keluasan pikirannya. Dan kini, setelah lebih dari satu abad kelahirannya, sebagian besar pikiran Hatta masih tercampak dalam buku-buku penghuni sudut sempit perpustakaan berdebu. Tapi, makin dilupakan, pikiran Hatta makin jernih dan nyaring kedengarannya. Lihatlah bagaimana Demokrasi Kita tetap relevan setelah sekian lama. Di situ Hatta menawarkan keseimbangan menghadapi situasi resah di awal kemerdekaan. Seperti sekarang, Indonesia setengah abad lalu menawarkan optimisme yang diwarnai euforia politik dan kebebasan. Namun, Proklamasi 1945, mirip dengan reformasi 1998, ternyata juga menjadi pembuka “kotak Pandora” seperti dikisahkan dalam mitos Yunani Kuno.
Gajah pergi meninggalkan gading. Tapi ia tak memilih bagaimana gading itu diukir. Generasi datang dan pergi, membentuknya, menatahnya, dan menimbang-nimbangnya. Mungkin mencampakkannya. Seorang besar memperoleh arti karena beribu-ribu orang yang tak dikenal datang sebelumnya, bersamanya, sesudahnya.
Dua puluh tahun sebelum “Demokrasi Terpimpin” dan “Orde Baru”, Bung Hatta-lah yang pada bulan Juni 1945 itu memperingatkan akan kemungkinan lahirnya “negara kekuasaan” dengan retorika “keamanan nasional”. Sebab itu kau usulkan agar hak-hak asasi ditegakkan. Tiga puluh tahun sebelum tentara Indonesia dikirim untuk “mengambil” Timor Timur, Bung Hatta juga suara yang paling pagi memperingatkan akan bahaya “imperialisme” dari diri sendiri. Kenapa, Bung? Kau bukan ahli nujum. Tapi mungkin karena nasionalisme-mu, seperti nasionalisme  Si Buruh Loyok, adalah suara solidaritas.
Ketika wafat pada 1980, Hatta meninggalkan “30 ribu judul buku” dalam perpustakaan pribadi, sebagai warisannya yang termahal. Integritas dan kesederhanaan hidup menjadikannya mutiara yang langka di antara deretan pemimpin Indonesia masa kini maupun lampau. Tapi dia lebih langka lagi sebagai negarawan yang menulis. Dengan begitu luas sumbangannya, dan begitu bernas pikirannya, adakah cara lebih baik untuk  memahami tokoh besar Bangsa Indonesia Bung Hatta kecuali dengan membaca kembali buku-bukunya? Dengan mengikuti tamasya sejarahnya?



Kapanlagi.com - Di dalam buku KISAH LAINNYA diceritakan bahwa para personel NOAH saat remaja merupakan penggemar musik alternative 90-an, termasuk The Cranberries. Selain itu, Ariel juga menyebut dirinya sebagai anak grunge yang menggemari Nirvana, Uki adalah fans Oasis, Lukman sibuk mempelajari musik Mr Big, David terpengaruh musik jazz, sedangkan Reza lebih gemar mendengarkan musik yang lebih cadas. Lalu seberapa besar pengaruh band-band tersebut terhadap NOAH? "Secara enggak langsung kali ya. Karena secara individu yang saya tahu mereka sangat terinspirasi dari The Cranberries. Jadi lagu yang diciptakan oleh dia (Ariel) ada arah ke sana," ujar Uki ketika interview secara ekslusif dengan KapanLagi.com® beberapa waktu lalu.
"Jadi diharapkan sih dari pengaruh lima individu yang ada di NOAH, mampu menciptakan sesuatu yang mewakili kami semua, terlepas dari perbedaan yang ada pada kami," tambah Uki.
Reza yang saat itu duduk paling ujung menambahkan jika warna musik NOAH sebenarnya saling berhimpitan. "NOAH juga memiliki warna yang saling berhimpitan dari kita semua sih," sahut Reza.
Kegemaran Reza mendengarkan musik Amerika dengan genre metal pun membuat musik NOAH makin berwarna. Menurut Uki, itulah salah satu faktor mengapa musik NOAH tidak membosankan untuk didengar.
"Iya kaya Reza ini kan lagu yang dia dengerin agak ekstrem dan beda dengan kami. Ya di situ sih bagusnya juga. Kalau semuanya sama jadinya pasti kurang berwarna dan agak membosankan," jelas Uki lagi.

Use time in the best possible