Bung Hatta : Iwan Fals
Tuhan terlalu cepat semua
Kau panggil satu-satunya yang tersisa
Proklamator tercinta…
Jujur lugu dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Rakyat Indonesia…
Hujan air mata dari pelosok negeri
Saat melepas engkau pergi…
Berjuta kepala tertunduk haru
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu…
Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas… jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkapal doa
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu…
JIKA masih hidup, dan diminta melukiskan
situasi sekarang, Mohammad Hatta hanya akan perlu mencetak ulang
tulisannya 48 tahun lalu: “Di mana-mana orang merasa tidak puas.
Pembangunan tak berjalan sebagaimana semestinya. Kemakmuran rakyat masih
jauh dari cita-cita, sedangkan nilai uang makin merosot. “Perkembangan
demokrasi pun telantar karena percekcokan politik senantiasa.
Pelaksanaan otonomi daerah terlalu lamban sehingga memicu pergolakan
daerah. Tentara merasa tak puas dengan jalannya pemerintahan di tangan
partai-partai.” Hampir tidak ada yang perlu diubah-kalimat demi kalimat,
kata demi kata.
Krisis politik, ekonomi, dan konstitusi.
Krisis serupa yang ditulis Hatta itu kini menghantui Indonesia lagi,
setengah abad setelah Megawati Sukarnoputri menyimpan boneka mainannya,
Amien Rais tak lagi bermain gundu, dan Jenderal Endriartono Sutarto
menukar ketapel karetnya dengan senapan M-16. Tidak ada yang baru di
kolong langit, kata orang. Sejarah adalah repetisi
pengalaman-pengalaman. Tapi, jika Indonesia terperosok ke lubang hitam
yang sama secara telak, mungkin karena bangsa ini tidak benar-benar
belajar dari sejarah yang benar. “Belajarlah dari sejarah”. Sukarno
mengatakan hal itu. Soeharto bicara yang sama.
Masalahnya adalah sejarah yang mana.
Sejarah, apa boleh buat, telah lama menjadi ladang perebutan ideologi
dan kepentingan. Dan Hatta adalah seorang pecundang, yang kalah, dalam
perebutan itu. Pada 1960-an, tulisan Hatta berjudul Demokrasi Kita itu
dinyatakan sebagai bacaan terlarang. Buya Hamka, pemimpin majalah Pandji
Masjarakat yang memuat tulisannya, dipenjarakan. Sementara itu,
pemerintah Orde Baru menyusutkan citranya sekadar sebagai “Bapak
Koperasi”-citra sempit yang mengerdilkan keluasan pikirannya. Dan kini,
setelah lebih dari satu abad kelahirannya, sebagian besar pikiran Hatta
masih tercampak dalam buku-buku penghuni sudut sempit perpustakaan
berdebu. Tapi, makin dilupakan, pikiran Hatta makin jernih dan nyaring
kedengarannya. Lihatlah bagaimana Demokrasi Kita tetap relevan setelah
sekian lama. Di situ Hatta menawarkan keseimbangan menghadapi situasi
resah di awal kemerdekaan. Seperti sekarang, Indonesia setengah abad
lalu menawarkan optimisme yang diwarnai euforia politik dan kebebasan.
Namun, Proklamasi 1945, mirip dengan reformasi 1998, ternyata juga
menjadi pembuka “kotak Pandora” seperti dikisahkan dalam mitos Yunani Kuno.
Gajah pergi meninggalkan gading. Tapi ia
tak memilih bagaimana gading itu diukir. Generasi datang dan pergi,
membentuknya, menatahnya, dan menimbang-nimbangnya. Mungkin
mencampakkannya. Seorang besar memperoleh arti karena beribu-ribu orang
yang tak dikenal datang sebelumnya, bersamanya, sesudahnya.
Dua puluh tahun sebelum “Demokrasi Terpimpin” dan “Orde Baru”, Bung Hatta-lah yang pada bulan Juni 1945 itu memperingatkan akan kemungkinan lahirnya “negara kekuasaan” dengan retorika “keamanan nasional”. Sebab itu kau usulkan agar hak-hak asasi ditegakkan. Tiga puluh tahun sebelum tentara Indonesia dikirim untuk “mengambil” Timor Timur, Bung Hatta juga suara yang paling pagi memperingatkan akan bahaya “imperialisme” dari diri sendiri. Kenapa, Bung? Kau bukan ahli nujum. Tapi mungkin karena nasionalisme-mu, seperti nasionalisme Si Buruh Loyok, adalah suara solidaritas.
Ketika wafat pada 1980, Hatta
meninggalkan “30 ribu judul buku” dalam perpustakaan pribadi, sebagai
warisannya yang termahal. Integritas dan kesederhanaan hidup
menjadikannya mutiara yang langka di antara deretan pemimpin Indonesia
masa kini maupun lampau. Tapi dia lebih langka lagi sebagai negarawan
yang menulis. Dengan begitu luas sumbangannya, dan begitu bernas
pikirannya, adakah cara lebih baik untuk memahami tokoh besar Bangsa
Indonesia Bung Hatta kecuali dengan membaca kembali buku-bukunya? Dengan
mengikuti tamasya sejarahnya?